entry image

Wanita Tangguh [Part I]

BREAK THE LIMIT
================

(Part I )

Oleh : Lufita Nur Alfiah

Inilah kisah pendakian perdana seorang pendaki amat sangat pemula, pengidap asma, stamina ala kadarnya, dah emak-emak pula. Tak pernah terpikirkan olehku akan melakukan perjalanan ini. Aku suka alam. Aku suka gunung. Tapi mendaki gunung? Mustahil. Mendaki tangga saja nafasku satu-satu.

Sewaktu masih lajang emak bapak tak akan pernah mengizinkan. Sampai kapanpun tak akan diizinkan. Dengan alasan aku pengidap asma akut. Masuk akal. Namun takdir berkata lain. Aku berjodoh dengan laki-laki yang suka berpetualang mendaki gunung. Akhirnya hobi itupun menular padaku.

Usia? Kepala tiga, beranak dua. Ah masih muda. Stamina? Kita pacu dengan olah raga. Asma? Mari berdoa semoga tak kumat di atas sana. Bisa? Bisa.
Kuat? InsyaAllah kuat. Oke. Selanjutkan mari kita susun rencana perjalanan.

Setelah merana karena gagal ke Gunung Kerinci waktu itu, harap-harap cemas aku menantikan destinasi berikutnya. Edisi penaklukan Seven Summit Indonesia bersama Tim Pertamina dan KBIP Cs (Keluarga Besar Ilmu Pemerintahan dan cs). Setelah Gunung Kerinci di Jambi sebagai yang tertinggi di Indonesia, tujuan selanjutnya adalah Rinjani. Gunung tertinggi kedua setelah Kerinci. Namun gempa Lombok beberapa waktu yang lalu meluluhlantakkan tidak hanya wilayah pemukiman tetapi juga jalur pendakian Rinjani. Tunda Rinjani, destinasi beralih ke Semeru, gunung tertinggi ketiga di Indonesia. Tertinggi di Pulau Jawa. Atap Jawa. Tempat dimana Soe Hok Gie menghembuskan nafas terakhirnya.

Pemula itu seharusnya mendaki gunung yang kecil-kecil dulu. Bukannya langsung Semeru, begitu kata orang-orang. Aku nyengir. Nekat. Akhirnya hari yang dijadwalkanpun tiba. Kami terbang dari Pekanbaru menuju Malang. Secara administratif Semeru terletak di dua kabupaten, Malang dan Lumajang. Setelah mendarat dengan selamat di Malang, aku bersama tim langsung menuju Lumajang. Untuk mempersiapkan stamina kami menginap semalam di rumah persinggahan, semacam villa, di Desa Gubugklakah. Teman-teman menyiapkan stamina, aku memperbanyak doa.

Keesokan harinya, perjalanan dimulai dengan mengendarai jeep-jeep gagah yang beriringan membelah jalan menuju Desa Ranupani, pos keberangkatan menuju Gunung Semeru di Kabupaten Lumajang. Butuh waktu hampir 2 jam. Melewati pemandangan indah bentangan alam perbukitan. Ladang-ladang petani rapi tersusun berbaris dengan kemiringan sekira 60°, menanam sayuran semisal kentang, wortel, bunga kol dan bawang daun. Subur. Ijo royo royo. Gemah ripah loh jinawi.

Lalu sampailah kami di Ranupani, pos awal pendakian. Jalur satu-satunya pendakian Semeru. Ratusan pendaki berkumpul disini setiap hari. Diperiksa, diberikan arahan oleh petugas dan relawan. Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama pendakian, segala macam saran dan larangan. Semeru termasuk gunung dengan manajemen pendakian paling baik dan aturan paling ketat. Pendaki harus memakai sepatu gunung, menyerahkan surat keterangan sehat, tidak boleh membawa alat musik dan speaker, tidak boleh membawa tisu basah, tidak boleh membuang sampah, sampah harus dibawa kembali turun ke bawah, tidak boleh sembarang membuang hajat alias 'ranjau darat', tidak boleh mandi juga cuci mencuci di Ranu Kumbolo, bahkan mencuci jari pun tak boleh. Tipsnya adalah mengambil air danau menggunakan botol lalu melakukan pencucian di tempat lain. Bila melanggar akan ada sanksi, yang terberat adalah diblacklist tak boleh lagi mendaki Semeru seumur hidup. Luar biasa.

Ketatnya aturan memang berpengaruh besar terhadap kondisi jalur pendakian. Bersih, tanpa sampah. Ranu Kumbolo pun bersih, indah, tak terganggu sampah. Dapat cerita bahwa di gunung-gunung lain yang aturannya tidak seketat Semeru memang banyak sampah menumpuk dimana-mana. Salut…

Setelah acara briefing dan arahan itu, mulailah kami bersiap berjalan. Tim kami terdiri dari 26 orang. Diantaranya ada 4 perempuan. Women Series. Belakangan baru kusaksikan, mereka adalah perempuan-perempuan perkasa, mandiri, tangkas dan cekatan. Kecuali aku tentu saja, yang ringkih, lamban dan manja. Oh sudahlah.

Kamipun mulai berjalan, menyusuri desa dan ladang-ladang warga. Jalanan mulai mendaki, tak landai lagi. Dan penderitaan itupun dimulai. Baru 15 menit pertama berjalan aku sudah kelelahan, ngos-ngosan, kepala pusing, jantung berdebar-debar. Masih di desa, belum lagi masuk hutan. Oh tidak. Aku mulai panik. Tidak mungkin aku menyerah disini. Bagaimana kalau memang tidak sanggup? Pingsan disini? 200 meter dari pos keberangkatan? Memalukan sekali.

Tidak ada seorangpun menyadari kepanikanku. Aku mulai mengutuki diriku sendiri. Terbayang rumah, anak-anak yang bermain ceria, kasur yang empuk, kamar yang sejuk, naik mobil, jalan-jalan, kulineran. Semakin lama pikiran semakin liar. Ngapain aku capek-capek kesini, untuk apa bersusah-susah begini.

30 menit, 1 jam berlalu, berjalan, mendaki, menuruni bukit dan lereng. Selama itu pula aku menguatkan hati. Baru 1 jam. Sedangkan perkiraan perjalanan menuju Ranu Kumbolo, shelter pertama, adalah 5 jam pendakian. Teman-teman tak akan tahu, aku banyak mengucap istighfar kala itu. Ampun ya Allah....ampun ya Rabb....aku banyak dosa...kuatkan aku Ya Rahman....

Tahukah kau pelajaran moral dari peristiwa ini kawan?
Bila kau tipe manusia durjana payah bertobat, pergilah mendaki gunung. Maka di setiap langkah pendakianmu akan penuh dengan ucapan memohon ampunan. Percayalah, itu resep paling ampuh bila kau sulit memulai pertaubatan.

Dan akhirnya, setelah 5 jam yang penuh dengan untaian doa dan munajat, sampailah kami di Ranu Kumbolo yang melegenda itu. Sumpah, menyebalkan sekali rasanya jika harus berbagi foto keindahannya. Tersebab sambil ngemil keripik pisang pun kau bisa dengan ringan menyerukan, "Cantiknyaaa..., indahnyaaa...,bagusnyaaa..."

Sedang aku? Kau tak tahu kawan apa saja doaku dalam perjalanan menuju kesana. Semua doa kusebut, semua dosa kuingat, semua ampunan kuratap, agar Tuhan menguatkan langkahku sampai ke tujuan.

Namun akhirnya aku sadar. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, walaupun terseok-seok, aku telah menembus batasan itu. Batasan paling lemahku.

 

Ranu Kumbolo

Ranu Kumbolo, nama itu terdengah indah dan eksotik.
Ranu berarti danau, berasal dari bahasa Tengger. Suku yang mendiami wilayah Gunung Semeru. Ranu Kumbolo berarti Danau Kumbolo. Di sekitaran Semeru sebenarnya ada 5 ranu lainnya, tapi Ranu Kumbolo adalah primadona. Keindahannya begitu membahana di dunia pergunungan dan perdanauan.

Selama ini aku hanya melihat keindahan Ranu Kumbolo lewat gambar-gambar di internet. Sekarang kawan, aku akan melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. 5 jam berjalan, mendaki bukit menuruni lembah untuk mencapai Ranu Kumbolo. Ranu Kumbolo terletak di ketinggian 2400 mdpl. Menjelang sampai ke ranu eksotik itu, ada 3 pos peristirahatan. Pos 1, pos 2, pos 3. Nama-nama itu menjadi penyemangatku ketika mulai teruk berjalan.

Dan akhirnya, ranu itu terlihat juga. Awalnya samar, makin lama makin jelas dan nyata. Kami datang ketika Ranu Kumbolo diselimuti kabut tipis, membuatnya nampak misterius tapi cantik luar biasa. Allahu Akbar...

Membentang seluas 15 ha, jernih airnya terlihat hijau dan biru. Terletak di lembah dengan dikelilingi perbukitan yang seolah menjaganya. Bening, tenang, dalam, tanpa riak, tanpa keriuhan. Hanya desir angin yang menjadi iramanya.

Ranu Kumbolo adalah lokasi perkemahan favorit. Banyak pendaki yang hanya menikmati keindahan ranu ini tanpa perlu melanjutkan perjalanan menuju puncak Mahameru. Terdapat ratusan tenda yang didirikan di tepian ranu setiap harinya. Jajaran tenda warna warni ini kemudian menjadi pemandangan indah tersendiri.

Hari pertama pendakian tim kami, diputuskan untuk tidak bermalam di Ranu Kumbolo. Hanya berhenti untuk beristirahat, sholat, makan siang, lalu melanjutkan perjalanan ke Kalimati. Shelter terakhir jelang puncak Semeru.

Kami menginap di Ranu Kumbolo di malam kedua setelah turun dari puncak. Tenda didirikan bersama dengan ratusan tenda pendaki lainnya. Bisakah kau bayangkan rasanya kawan? Buka tenda viewnya danau seindah ini. Ah....

Tapi keindahan itu tak lama. Ketika malam menjelang aku mulai tersiksa. Angin menderu, dingin menusuk kalbu, aku membeku. Segala rayuan tentang indahnya bintang saat malam di Ranu Kumbolo sirna sudah. Aku menderita. Tak pernah aku merasa sedingin ini. Iya aku tahu ini gunung, dan gunung pasti dingin. Tapi sedingin ini? Allah Karim...

Base layer (semacam kaos dan celana manset berbahan polar) sudah dua lapis, baju, celana panjang, jaket tebal dua lapis, kaos kaki dua lapis, jilbab, buff (kain masker), sebo, sleeping bag, sudah dipakai semua. Rasanya tanpa guna. Aku tetap menggigil. Tak bisa lagi banyak bicara. Hanya bisa mengerang kedinginan.

Aarrgghh apa salah dan dosaku Ya Rabb.....
Yang lain masih bisa cekikikan diluar tenda. Saling bercerita entah tentang apa. Inderaku tak lagi berfungsi dengan baik untuk bisa menyimak mereka. Apa karena aku kurang gizi? Menyedihkan sekali. Aku bahkan sulit menggerakkan tubuh, semua terasa kaku. Jari-jariku beku. Belakangan baru kusadari jari-jariku pecah karena kedinginan di malam itu.

Ingin rasanya bangkit, lalu berjalan mendatangi tenda abang, suamiku, di sebelah tenda kami untuk sekedar merengek minta dipeluk. Tapi aku tak sanggup lagi. Akhirnya hanya bisa meringkuk penuh nestapa di tenda women series kami.

Vina, teman setendaku, mulai risau. Dia melakukan banyak hal agar dinginku berkurang. Terharu rasanya. Aku yang awalnya berbaring di bagian pinggir langsung disuruh pindah ke tengah, diapit, biar lebih hangat. Barang-barang kami, ransel, carrier, sebagian dipindahkan ke dekat pintu tenda, dekat dengan kaki, agar kakiku lebih hangat.

"Kak, belum bisa tidur ya? Apanya yang dingin lagi kak?"

"Ka-a-ki de-ek..." jawabku menggigil.

"Buka sleeping bag nya kak. Kita bebat kaki kakak pakai baju-baju, biar lebih hangat."

"Iya..."

"Masih dingin kak?"

"Udah mendingan dek. Makasih ya..."

"Ini pakai juga bandana bulu vina, biar telinga kakak hangat."

Malu sebenarnya. Teman-teman women series yang lain juga kedinginan, tapi mereka merelakan perlengkapannya untukku.

"Ga usah dek, Vina kedinginan nanti. Kakak kan udah pake jilbab juga"

"Ga papa kok kak. Vina bisa nahan. Kakak lebih butuh. Hangat pakai bandana bulu ini kak. Telinga kita ni ngaruh kali kak. Kalau hangat dia, hangat kita."

Dan benar saja. Setelah memakai bandana bulu itu, tubuhku perlahan menghangat, rileks, dan mulai mengantuk.

"Kakak mau dipanggilkan bang jen? Biar bang jen pindah tidur disini sama kakak."

Aku menggeleng. "Ga usah dek..."

"Sini kak, Vina himpit kaki kakak biar lebih hangat. Dah tidurlah..."

Makasih banyak dek....kataku dalam hati. Vina baik sekali.

Akupun tertidur. Tapi kurasa itu bukan karena hangatnya bandana bulu atau himpitan kaki itu, melainkan karena kehangatan hati Vina.

Penasaran, paginya kutanyakan pada mas guide, berapa sebenarnya suhu di Ranu Kumbolo semalam.

" Beruntung mbak, suhunya bersahabat. Hanya 4°C"

"What??? Hanya 4°C ? Bersahabat? Aku dah mau mati rasanya mas."

"Minggu kemarin disini frosting mbak, suhunya sampai -5°C"

"Oohh...iya...alhamdulillah ya mas..." aku nyengir.

"Aku tinggal di daerah dengan suhu diatas 30°C mas. Suhu AC di kamarku bahkan tak pernah lebih dari 25°C" kataku, dalam hati.

Ah, Ranu Kumbolo.
Indah namun menyiksa, paling tidak untukku.


Bersambung...